A : “apakah aqidah itu adalah sebuah dogma irasional atau sebenarnya aqidah itu rasional namun karena masih banyak misteri ketidaktahuan yang menghijabi akal manusia maka seolah-olah tidak bisa dipertanyakan kebenarannya, sehingga nantinya juga pasti tersingkap argumentasi logisnya seiring bertambahnya ilmu manusia?”
B : “sebelum masuk ke irasional atau rasional, seharusnya kita bahas bagaimana pengetahuan itu didapatkan. Disini kita bicara potensi manusia dan sumber transmisi pengetahuan. Potensi terbesar manusia ada pada ruhnya. Ruh itu aktif dan punya kecenderungan untuk mencapai kebenaran dan kemuliaan. Ketika ia bersentuhan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan maka ia disebut ‘aql (akal/rasio), ketika mengatur tubuh maka ia disebut nafs (ada dua; nafs al hayyawaniyah atau jiwa kebinatangan dan nafs an nathiqoh atau jiwa rasional), ketika ruh mengalami iluminasi atau pencerahan, ia disebut qolb. Yang jarang disadari, meskipun rasio digunakan untuk memahami sesuatu, pada dasarnya paham itu sendiri adalah momen intuitif atau iluminasi dan kualitasnya sangat bergantung pada kesiapan hati menerima kebenaran. Nah, lantas bagaimana dengan aqidah? Bisa saja orang berargumen tentang betapa rasionalnya kebenaran Allah, namun ia tidak solat, puasa, zakat, haji dan seterusnya. Kenapa? Karena dia tau tapi tidak paham. Paham itu wilayah keyakinan, wilayah makrifat, dan yang lebih penting lagi ia perlu dialami. Mengalami beda dengan mengetahui. Tidak bisa dengan olah pikir. Mengalami itu dengan kehadiran. Aql yang aktif saja tidak bisa mencapainya.”
A : “tentang aqidah atau agama tidak berhenti pada level tau saja, itu benar. Akan tetapi apakah titik pencerahan akal terhadap aqidah itu ada atau hanya seolah-olah ada karena akal manusia lelah dan putus asa mengejar kebenaran aqidah itu?”
B : “akal yang kehilangan harapan akan sampai pada nihilism. Keyakinan bahwa tidak ada kebenaran. Lantas mengapa harapan itu eksis? Mengapa ia membesar dan mengecil? Kenapa ia bisa menghampiri seseorang sedangkan sebagaian yang lain kehilangan? Bisakah rasio menjelaskannya? Mengapa ada orang yang akalnya tidak begitu tajam tapi punya keyakinan? Pun dengan kualitas akal yang sama ada yang tidak? Ada pula ia sangat rasional namun kufur, tapi ada juga yang tidak? Dimana letak perbedaannya? Atau sekedar contoh; berbagai bukti tentang keburukan riba bagi perekonomian sudah diamini ekonom sedunia. Tapi tetap saja UII yang rektornya seorang ekonom tetap menggunakan jasa bank konvensional. Sementara ada sekolah kecil di Kasihan Bantul yang kepala sekolahnya memercayakan administrasi keuangan pada BMT. Rupa-rupanya penerimaan kebenaran tidak ada hubungannya dengan rasional atau tidak. Lagi pula rasionalitas hanya bisa bekerja dalam bahasa. Orang berpikir menggunakan medium bahasa. Padahal bahasa itu kesepakatan sosial. Kita sepakat mamalia pengerat bertelinga panjang yang gemar makan wortel dan sayuran itu dengan nama kelinci. Bagaimana jika kita sepakati namanya adalah monyet? Ia monyet. Maka kebenaran pasti melampaui bahasa. Lantas bagaimana rasio menjelaskannya? Tanpa mata hati, manusia buta. Bahkan sekalipun kebenaran sudah terpampang, ia akan tetap skpetis dan merasionalisasikan pilihan sikapnya.”
A : “berarti untuk mencapai kebenaran dan tetap bersama kebenaran kita harus menggunakan mata hati yang jujur di atas rasio yang tidak bisa mengungkap semuanya alias terbatas?”
B : “gunakan semua potensi yang kita punya. Akal, jiwa, hati dan juga jasad semampu kita. Setidaknya itu yang saya tau mengenai jihad fi sabilillah.”
(Dari dialog bersama Wildan Taufiq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar